AutonetMagz.com – Dewasa ini, mobil baru banyak yang datang dengan mesin kecil plus turbo dengan alasan mematuhi regulasi efisiensi dan emisi yang makin hari makin ketat macam security check di bandara. Awalnya tentu saja senang, karena ini dianggap sebagai batu loncatan masa depan mesin pembakaran internal sebelum kita benar-benar move on dari bahan bakar hasil pengolahan fosil dinosaurus ke bahan bakar alternatif macam hidrogen, listrik, bahkan (maaf) kotoran.
Logika datangnya mesin kecil dan turbo itu simpel. Normalnya, mesin kecil akan lebih sedikit minum bensin daripada mesin besar, dan saat butuh tenaga yang menyamai mesin besar, itulah tugas induksi paksa. Turbo atau supercharger akan memaksa mesin untuk mendapat udara hasil suntikan paksa dan menghasilkan tenaga yang melimpah. Bagus memang kedengarannya, tapi apa hasil temuan selanjutnya mendukung teori itu?
Terlepas dari adanya kasus manipulasi efisiensi Mitsubishi atau dieselgate Volkswagen, rupanya konsumsi BBM dan tingkat emisi di mobil-mobil baru bukannya makin bagus, malah makin buruk. Untuk hal-hal tadi, ada hasil tes dari analis emisi Inggris bernama EA melakukan tes yang disebut sebagai EQUA, dengan memasang alat yang mengukur alat pengukur kandungan gas buang seperti di bawah ini. Alat ini rumit dan sangat akurat.
Selanjutnya, mereka mengendarai mobil tes itu di jalanan yang sudah ditetapkan di Inggris bagian Selatan, dan kondisi jalanannya ada dalam kontrol mereka. Gaya mengemudinya rata-rata, bukan terobsesi dengan “Poweeeerrrr” macam pakde Jeremy Clarkson atau mau seirit mungkin macam orang yang lagi ikutan kontes irit-iritan bensin. Kebanyakan hasil tes EQUA yang diperoleh jauh lebih buruk daripada klaim konsumsi BBM pabrikan.
FYI, banyak pabrikan mobil mengukur efisiensi mobilnya sendiri dengan siklus NEDC, atau New European Driving Cycle, namun banyak yang mencari celah untuk “main-main” supaya angkanya bagus. Praktek yang sering dilakukan termasuk melebihkan tekanan angin di ban, melepas spion, oli spesial dan setting mesin dan transmisi yang menghasilkan akselerasi yang lembut. Emisi? Bisa 12 kali lebih berbahaya di atas batas yang diizinkan.
Di saat ini, sedikit pabrikan yang masih bisa memaksimalkan potensi mesin non-turbo. Lotus, Mazda dan Audi misalnya. Lotus Evora, pakai mesin Toyota Camry yang dimaksimalkan. Mazda, teguh dengan konsep SkyActiv yang bisa menjuarai angka efisiensi tertinggi untuk mobil non-hybrid (biarpun pada akhirnya muncul juga mesin SkyActiv Turbo). Audi, bisa membuat mesin 5.200 cc V10 yang 16 tahun lalu bertenaga maksimal 500 hp, sekarang sudah 600 hp lebih tanpa turbo.
Sementara masih banyak merek yang menggantungkan hidup-mati perusahaan mereka di mesin kecil berturbo. Ford misalnya, dengan mesin 1.000 cc Ecoboost yang ada di Fiesta, Mondeo dan lain-lain, dan jangan salah, itu sama sekali bukan mesin yang jelek. Kami sampai hari ini masih terpana akan kiprah mesin itu. Namun jika hasilnya malah menunjukkan demikian, apakah downsizing hanya buang-buang duit, waktu, keringat, darah dan air mata para tim RnD? Silakan direnungkan dulu.
Berikutnya apa? Sepertinya kebalikan dari downsizing, yakni upsizing. Kelihatan dari beberapa merek, seperti VW yang merilis mesin 1.500 cc TSI untuk menggantikan mesin 1.400 cc TSI yang lama, atau Mercedes Benz yang kembali memperkenalkan mesin 6 silinder segarisnya setelah lama hanya mengandalkan mesin 4 silinder dan V8 twin turbo. Mercedes juga kena downsizing, saat mesin 6.200 cc V8 naturally aspirated andalam mereka turun jadi 5.500 cc V8 twin turbo dan sekarang 4.000 cc V8 twin turbo. Mesin V12? Cek buku sejarah saja.
Akar mula semua hal ini menurut Car Throttle adalah politik, sama seperti yang sedang hangat – atau panas – di negara kita. Parlemen Uni Eropa dengan segala kebijakan mereka, memutuskan bahwa mobil harus lebih bersih dan lebih irit, seraya dengan diberlakukannya batasan emisi karbon dan lain sebagainya, namun sayang mereka tidak mengerti cara kerja mesin pembakaran dalam alias internal combustion engine.
Kembali ke jaman SMP, di mana kita belajar energi. Energi yang diperlukan untuk membuat mobil bergerak di skenario apa pun, jika variabelnya konstan, adalah tetap sama. Bingung? Ini sedikit contoh. Ada mesin kecil turbo dan ada mesin besar non-turbo disuruh untuk menggerakkan mobil yang sama. Jika mengandalkan pengetahuan umum soal mesin, harusnya mesin kecil lebih efisien soal energi, namun bukan itu yang dinilai di sini.
Yang diperhatikan adalah, mesin kecil berturbo harus menghasilkan energi yang sama besarnya dengan mesin besar non-turbo, dan bisa jadi jumlah bensin yang dibakar untuk menghasilkan energi tersebut malah sama saja. Jika mengesampingkan teknologi hybrid, salah satu cara untuk membuat mesin naturally aspirated makin irit BBM adalah dengan memaksimalkan efisiensi termalnya, sehingga mesin dapat mengekstrak setiap energi dari tiap siklus pembakaran.
Pasti hal itu sudah dipikirkan oleh para pembuat mesin. Mereka bukan orang bodoh, hanya saja pada akhirnya mereka harus mengalah dengan pasar jika idealisme mereka tidak mampu membuat dapur perusahaan ngebul. Dengan mesin kecil berturbo yang akselerasinya lebih gampang karena torsinya bagus, semua orang jadi lebih doyan injak gas, dan di saat bersamaan emisi pun naik dan konsumsi BBM makin buruk. Torsi itu nikmat, tapi susah dijelaskan ke anggota parlemen Uni Eropa.
Demikian pula dengan siklus tes NEDC, di mana nyaris tak ada kondisi real yang gaya menyetirnya persis dengan pengujian NEDC. Masih menurut CT, ambil contoh Toyota Avensis dengan mesin 1.600 cc diesel yang di jalan tol, harus bisa santai di kecepatan 80 mph (sekitar 128 km/jam), namun jika ingin menyalip mobil lain, kita harus turun gigi, di mana artinya tingkat stress-nya bertambah dengan besar.
Jika dibandingkan jaman dulu, mesin 2.200 cc diesel juga bisa santai di kecepatan 128 km/jam, namun untuk menyalip mobil lain, tak perlu menurunkan gigi, bisa tetap memakai gigi tinggi dan tingkat stres yang didapat lebih kecil, demikian pula konsumsi BBM yang lebih baik. Dengan demikian, para pabrikan mobil seolah mengakui bahwa memakai turbo untuk mesin yang lebih kecil sebenarnya buang-buang biaya dan waktu, dan mereka mulai kembali ke jalan lama : membesarkan ukuran mesin.
Namun entah sampai kapan mesin mau membesar sebelum sumber energi baru menggantikan minyak bumi. Kami akan sedikit bingung jika di suatu hari, muncul Honda Brio bermesin 2.000 cc, atau bagaimana dengan Nissan Fairlady Z yang mesinnya naik terus? Sekarang, Nissan 370Z bermesin 3.700 cc V6, naik 200 cc dari Nissan 350Z, tapi apa kabar jika di tahun 2030 kami harus mengenal Nissan 500Z? Masa mobil sport yang kastanya di bawah GT-R pakai mesin 5.000 cc?
Kami akan menyerahkannya pada engineer yang tahu bagaimana merancang mesin bagus tanpa harus memboroskan dana RnD. Susah memang memuaskan keinginan semua orang, tapi jika tidak diusahakan, kita tak akan pernah tahu kapan kita bisa menikmati mesin yang sempurna. Apa opinimu? Sampaikan di kolom komentar!
Read Next: Chevrolet Spark Activ Akhirnya Jadi Diproduksi, Ini Spesifikasinya!