Jakarta, AutonetMagz – Sudah lama rasanya saya tidak memakai jasa taksi konvensional semenjak adanya Uber dan GrabTaxi, kedua aplikasi ini adalah salah satu aplikasi favorit saya untuk berpergian selain Go-Jek. Dibanding taksi biasa, Uber dan GrabCar (Salah satu layanan di dalam aplikasi GrabTaxi) menawarkan tarif yang lebih murah hingga setengah argo taksi konvensional. Sebagai masyarakat yang cerdas dan kritis terhadap kondisi keuangan rumah tangga, tentu saja saya adalah satu dari banyak orang yang memilih moda transportasi tersebut.
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh supir taksi, mereka merasa terpukul karena penghasilannya berkurang secara drastis akibat adanya Uber dan Grabcar. Taksi Express contohnya, mereka mengaku laba mereka anjlok hingga 89% di tahun 2015 silam. Bahkan, Express Group merumahkan 6.000 orang supir mereka. Penyebabnya apa bapak ibu? Jelas, karena sepinya peminat Taksi tentunya.
Demo yang mengatasnamakan perut orang-orang yang mencari nafkah melalui menjadi supir taksi ternyata mendapat respon positif dari Dishub dan Gubernur DKI Jakarta yang namanya sedang menghangat. Tetapi sebaliknya, masyarakat justru mengutuk tindakan para supir taksi dan menyalahkan para pengemudi dan perusahaan Taksi yang enggan berinovasi dan mahal. Banyak kata-kata sumpah serapah yang saya temukan di Internet dan menuduh Organda berada di balik ini semua. Masyarakat sudah terlanjur enak dengan Uber dan GrabCar, tentu saja jika ada yang menghalangi Uber dan GrabCar beroperasi, maka siap-siap orang tersebut bisa menjadi “Public Enemy”.
Mungkin karena takut menjadi “Public Enemy”, orang-orang yang berkuasa enggan melarang moda aplikasi yang dituduh melanggar aturan tersebut. Lihat saja, rekomendasi Ahok dan Menhub Jonan untuk menutup aplikasi Grab dan Uber saja mental di tangan Rudiantara dan Presiden Joko Widodo. Makanya Uber dan Grab bisa santai beroperasi di Indonesia.
Sebenarnya, menjadi supir Uber juga bukan pekerjaan yang mudah, sejak Uber mengurangi bonus kelipatan 50% dan mengurangi insentif-insentif yang merupakan subsidi dari mereka, menjadi pengemudi Uber tidak lagi senikmat dahulu. Saya sendiri dulu pernah menjalankan usaha sampingan dengan meng-Uberkan beberapa unit mobil meskipun sekarang tidak lagi. Bahkan beberapa kali saya mencoba “narik” Uber untuk melihat situasi di lapangan. Menjadi supir Uber-pun juga harus bekerja keras untuk mendapatkan uang yang cukup untuk mengepulkan dapur dan membeli bensin layaknya supir Taksi. Hal tersebut dikarenakan rendahnya tarif Uber dan persaingan antar driver Uber dan GrabCar sudah semakin banyak. Rata-rata, supir Uber bisa mengantungi bersih 100 hingga 200 ribu perhari setelah dipotong oleh setoran ke pemilik mobil dan tentu saja bensin. Dulu ketika masih ada bonus 50%, supir Uber bisa mendapatkan hingga 400 ribu perhari bersih. Makanya jangan heran jika dulu para supir Taksi banyak yang hijrah menjadi supir Uber.
Jadi rugi atau tidak mengemudi Uber? Masih untung kok meskipun tidak sebanyak dulu, apalagi jika mobil tersebut milik sendiri. Makanya banyak pengemudi Uber yang mencoba mengambil mobil sendiri dengan cara mencicil meskipun harus menjual motor atau rumah mereka untuk DP kendaraan. Kebayang nggak kalau Uber dan GrabCar di stop? Bagaimana cara mereka membayar cicilan mobil?
Lalu bagaimana Taksi? Kurang lebih nasibnya sama, sekarang mungkin lebih parah dari pengemudi Uber. Beberapa hari yang lalu Ibu saya menggunakan Taksi karena memang belum mahir menggunakan smartphone, supir Taksi tersebut menceritakan mengenai pendapatannya yang sangat-sangat minim beberapa tahun terakhir karena susahnya mendapatkan penumpang. Bahkan ia bingung untuk menyekolahkan anaknya karena tidak ada uang. Itu baru salah satu contoh, saya tidak bisa membayangkan jika seluruh supir Taksi di Indonesia mengalami nasib serupa. Kasihan ya, sudah hidupnya susah, dikutuk pula sama Netizen.
Lantas bagaimana seharusnya perusahaan Taksi menyikapi hal ini dan menyelamatkan perusahaan mereka dari kerugian? Sebenarnya perusahaan taksi itu tinggal ikuti apa maunya masyarakat, jika masyarakat menuduh Taksi adalah moda transportasi yang minim inovasi dan mahal, seharusnya para perusahaan Taksi itu segera ber-inovasi dan mengikuti pola Uber atau GrabCar. Buatlah Aplikasi sejenis, copot atribut stiker atau logo taksi, gunakan mobil semacam Avanza yang dijual kembali memiliki harga tinggi, pakai plat hitam dan tidak perlu repot-repot mengurus dan membayar KIR. Jelas jika melakukan hal tersebut, perusahaan Taksi macam Bluebird dan Ekspress bisa menurunkan tarif mereka dan bersaing dengan Uber atau GrabCar karena tidak perlu membayar pajak-pajak tambahan kepada Pemerintah. Toh Pemerintah juga tidak akan menindak bukan?
Segera berinovasi dan mengikuti pola Uber atau GrabCar. Buatlah Aplikasi sejenis, copot atribut stiker atau logo taksi, gunakan mobil semacam Avanza yang dijual kembali memiliki harga tinggi, pakai plat hitam dan tidak perlu mengurus dan membayar KIR. Jelas jika melakukan hal tersebut, perusahaan Taksi macam Bluebird dan Ekspress bisa menurunkan tarif mereka dan bersaing dengan Uber atau GrabCar
Mungkin kita bisa mengajak para supir Taksi itu berhenti berdemo untuk melarang GrabCar atau Uber karena akan menjadi bumerang bagi citra mereka di mata masyarakat, tetapi ajak mereka untuk berdemo kepada Pemerintah agar segera menghapus regulasi angkutan umum yang mewajibkan angkutan berbasis Argo harus memakai plat kuning, stiker taksi, mobil 5 penumpang, Kir dan lain-lain, niscaya nasib para supir taksi dan para supir Uber atau GrabCar pasti terselamatkan tanpa kita harus menghitamkan salah satu diantara mereka. Betul?
*artikel ini mengandung sarkasme
Read Next: Gambar Paten Honda Civic Hatchback Terkuak, Siap Gendong Mesin 1.000 cc Turbo