AutonetMagz.com – Kami tak pernah menyangka kalau VW bisa memperkenalkan sebuah mobil yang memiliki value menarik, apalagi di Indonesia di mana stereotip merek Eropa dianggap sebagai mobil mewah yang harganya mahal, baik harga beli maupun perawatan. Namun saat VW Tiguan Allspace muncul di GIIAS 2019 dengan banderol sekitar 600 jutaan, kami cukup terkejut. Harga 600 jutaan buat sebuah SUV Eropa 7 seater itu tidak mahal lho.
Rahasia kenapa VW Tiguan Allspace bisa memiliki harga yang relatif masuk akal adalah karena ia CKD di Indonesia. Siapa yang sangka VW tiba-tiba mau CKD di Indonesia kan? Polo saja yang lebih kecil dan murah CBU India lho. Nah, VW Indonesia mengundang kami untuk mencoba mengendarai VW Tiguan Allspace dengan rute Jakarta-Bandung. Tanpa membuang-buang waktu, kami ingin mengendarai lebih dulu karena rutenya melewati tol layang yang baru itu.
Tol layang yang katanya tidak sepenuhnya enak dilewati itu akan menjadi media yang cocok untuk mengetes apakah refinement VW rakitan lokal bisa enak juga atau tidak. Meski VW Tiguan Allspace mempunyai kunci model flip, ia sudah punya tombol start-stop engine. Karena agenda kali ini bersifat santai dan tidak ada Voojrider, kami set di mode Eco dan memulai perjalanan dari Audi M.T Haryono menuju rest area Km. 88.
Namanya mode Eco, pasti semua respon akan dibuat lebih “malas”, baik itu respon gas, mesin atau girboks. Mode Eco ini membuat VW Tiguan Allspace selalu bermain di putaran mesin rendah, sekitar 1.500 hingga 3.000 rpm. Untungnya ia tak pernah kekurangan napas karena torsi 250 Nm-nya selalu siap siaga di putaran mesin tersebut. Jika ingin menghilangkan lag kala kita kickdown, cukup keluar dari mode Eco saja, respon mesin akan membaik.
Sepanjang menyetir, satu hal yang mengganggu kami adalah lingkar setir yang terlalu kurus. Genggaman saat mengendarainya tidak terasa mantap karena tangan tidak terasa memegang setir dengan penuh, seperti tersisa rongga yang kosong di dalam genggaman tangan kami. Saat macet-macetan, kami juga harus beradaptasi dengan girboks DSG VW yang agak ndut-ndutan kalau harus menghadapi kondisi stop & go.
Namun saat jalanan lancar, girboks kopling ganda DSG ini punya pergantian gigi yang cepat dan halus. Saat cruising di mode Eco atau Comfort dan kecepatan di atas 60 km/jam, transmisi akan memprioritaskan gigi tinggi supaya meminimalkan konsumsi BBM. Meskipun torsi dari putaran bawah-menengah terasa enak dan amat menunjang, tenaga yang “cuma” 150 PS mungkin tidak akan terlalu supportif buat SUV 7 seater ini.
Bukan berarti jelek, namun tenaganya standar-standar saja. Lompatan awal saat kita injak gas terasa enak berkat torsinya, tapi setelah di 4.000 rpm ke atas tenaganya tidak terasa signifikan. Oh ya, ini masih mesin 1.400 cc 4 silinder turbo TSI seperti di Golf Mk7, kita tidak dapat mesin 1.500 cc TSI Evo karena alasan kecocokan bahan bakar. Memasuki tol layang, akhirnya kami bisa menguji seberapa halus mobil ini.
Hasilnya : Halus. Kebisingan dari jalan di kecepatan 80 km/jam terbilang minim, bantingan suspensi kaku namun lembut tiap kali melewati sambungan jalan atau kontur jalan yang bergelombang. Tidak pernah ia terasa kasar, apalagi dibantu peredaman suara angin yang tergolong cukup baik. Sebagai perbandingan, saya pernah melewati rute yang sama dengan sebuah CR-V Turbo dan level kehalusannya masih di bawah VW Tiguan ini.
Pengemudi maupun penumpang nampaknya akan menikmati refinement mobil ini di jalan tol layang. Saat kami ingin mendahului Tiguan lain untuk mengambil foto, kami masuk ke mode Sport. Sesuai namanya, bobot setir jadi memberat, respon pedal gas jadi lebih spontan dan transmisi mulai menahan gigi dan baru pindah gigi di putaran mesin tinggi. Tak ketinggalan, suspensinya juga jadi makin kaku di mode sport.
Betul, VW Tiguan Allspace punya suspensi adaptif yang tingkat kekakuannya berubah tergantung mode berkendara. Setir pun demikian, bisa sangat ringan di mode Eco atau agak berat di mode Sport. Enaknya lagi, ada mode Individual yang bisa membuat supir menyetel karakter mesin, setir dan suspensi semaunya sendiri. Mobil-mobil sejenis dan yang harganya sepantaran dengannya jarang yang punya setelan tersebut.
Sampai di Rest Area Km. 88, kami berfoto-foto sejenak. Karena pasti tak ada yang mau mengetes bangku baris ketiganya yang luasnya hanya cocok untuk anak kecil, kami tes kepraktisannya. Satu-satunya hal yang kami catat adalah tuas plastik untuk melipat bangkunya hingga rata lantai. Di Tiguan CBU, tuas plastik ini terasa kuat, tebal dan solid, sementara di Tiguan Allspace CKD, tuasnya terasa murah dan ringkih, apalagi tuas harus ditarik kuat-kuat untuk melipatnya sehingga ada perasaan ngeri kalau tuasnya bakal patah.
Selain dari itu, VW Tiguan Allspace adalah SUV keluarga yang praktis. Kantongnya sangat banyak, bahkan di tempat yang tidak terduga seperti plafon mobil dan bagian tengah dashboard mobil. Selain kantong di baris kedua, meja lipat menjadi poin plus yang patut diapresiasi karena selain ia lumayan solid, fungsinya juga berjalan dengan baik karena ada bonus cup holder di masing-masing meja lipat.
Oh ya, kalau-kalau anda termasuk orang yang suka buka kaca jendela saat mobil melaju di kecepatan tol untuk alasan apa pun, lebih baik jangan lakukan itu di VW Tiguan. Angin yang menderu akan sangat mengganggu, kami mengalaminya saat harus membuka jendela untuk keperluan pengambilan gambar di tol. Selesai jadi supir, kami memutuskan untuk duduk di belakang dan mencoba seberapa enak jadi penumpang baris kedua.
Ruang baris kedua sangat oke untuk penumpang setinggi 178 cm. Ruang kaki tidak ada masalah, begitu pun dengan ruang kepala. Berkat setelan suspensi yang pas, bersantai sambil merebahkan jok pun rasanya enak-enak saja di sini. Memasuki area Bandung dan sekitarnya, Tiguan tidak pernah kedodoran untuk menanjak di Cipularang mau pun saat perjalanan ke Kawah Putih. Cukup masukkan persneling di D, injak gas, semua tanjakan aman.
Malah, kami senang dengan pemilihan rute yang berkelok-kelok, jadi bisa langsung terasa seperti apa handling mobilnya. VW Tiguan bisa menikung dengan baik berkat setir yang lumayan akurat meski bobotnya ringan. Body roll minim dan wajar, mobil terasa tetap stabil kala meliuk-liuk di jalanan menuju Kawah Putih. Tidak ada pergerakan berlebihan yang mengganggu pengendalian Tiguan, bahkan remnya pun benar-benar rasa Eropa, gradual dan mudah untuk ditakar.
Memang saat menanjak, suara mesin akan lebih kedengaran, tapi tidak sampai ke taraf mengganggu. Urusan pengisian daya gadget juga aman karena ada charger yang siap siaga di baris pertama dan kedua. Urusan adem-ademan pun aman, terima kasih kepada AC baris kedua yang suhunya bisa diatur secara individual. Pada satu kesempatan, ada sesi khusus untuk mencoba fitur self-parking dari VW Tiguan.
Fitur self-parking VW Tiguan ini sebenarnya bisa untuk berbagai macam posisi parkir, baik itu seri, paralel atau bahkan parkir serong 45 derajat. Tinggal pencet tombol bergambar setir dan huruf “P” di samping persneling, mobil akan langsung mencari tempat parkir yang muat untuk Tiguan. Nyalakan sein kiri atau kanan untuk memilih spot parkir yang diinginkan, sebelah kanan atau kiri mobil. Setelah ketemu, masuk ke gigi mundur dan setir akan berputar dengan sendirinya, mobil juga mundur hanya dengan putaran mesin idle.
Catatan penting dari kami adalah, sistem ini hanya mengatur setir saja, perpindahan gigi dan pengereman akan tetap ada di kuasa supir. Jadi saat mobil meminta kita pindah gigi dari R ke D atau sebaliknya, kita harus pindah gigi sendiri. Sistem ini memang sering berhasil saat dicoba di Bandung, tapi ia kadang salah membaca spot parkir yang tanggung. Tips dari VW : Fitur ini paling baik dipakai di parkiran yang ramai. Kalau parkirannya memang sepi, lebih baik parkir tanpa fitur ini.
Sepanjang mencoba VW Tiguan Allspace dengan rute mencapai 200 km lebih, kami merasa ini adalah sebuah SUV keluarga yang dikemas dengan value for money yang bagus, bahkan buat sebuah VW dan buat SUV sekelasnya. Kabin lega, 7 seater, fitur berlimpah, kepraktisan mumpuni, namun kami salut karena driving experience brand Eropa-nya tetap bertahan di versi CKD ini. Ia kaku namun halus, torsinya selalu cukup, handling oke dan peredaman pun baik.
Kekurangan tetap ada, misalnya tenaganya biasa saja, lingkar setir terlalu kurus, tidak ada sunroof atau panoramic roof buat bergaya, tuas plastiknya tidak solid, dan transmisinya perlu perlakuan khusus saat menghadapi kemacetan. Meski demikian, kekurangan itu nampaknya tidaklah besar dibandingkan kelebihan-kelebihan yang ditawarkan. Apa opinimu soal VW Tiguan Allspace? Sampaikan di kolom komentar!
Read Next: Toyota Yakin GR dan TRD Bisa Hidup Berdampingan