AutonetMagz.com – Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon mulai tahun 2022. Tarif minimal yang dikenakan adalah Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Nah, ternyata peraturan baru tersebut memiliki dampak yang negatif. Pajak karbon tersebut diprediksi akan berpengaruh terhadap kenaikan harga beberapa komoditas bahan bakar fosil, seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan gas. Apalagi listrik disini sebagian besar masih bersumber dari batu bara.
Menimbulkan Pro dan Kontra
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan energi fosil di Indonesia masih mendominasi bauran energi nasional, yaitu mencapai 85 persen sampai 90 persen dari total bauran energi saat ini. “Kalau pajak karbon diterapkan, kami dalam posisi gak pro dan kontra, tapi berikan saran ke pemerintah, kalau ini diterapkan, maka hampir semua energi fosil terdampak. BBM, listrik, gas terdampak, harganya akan lebih mahal,” kata Komaidi dikutip dari CNBC Indonesia, awal Juli 2021.
Rencana pemerintah dalam mengurangi emisi karbon ternyata masih ada karbon dari sisi penambangan. Pajak karbon berpotensi mendorong penambangan makin marak. Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) memerlukan beberapa jenis logam. Misalnya, komponen dari pembuatan panel surya memerlukan baja dan tembaga. Komaidi menilai selisih penggunaan karbon perlu dikalkulasikan. “Di satu sisi berkurang lima, lalu tambah empat, apakah satu ini korbankan kondisi ekonomi, tentu berbiaya tinggi,” kata Komaidi.
Penerimaan Pajak akan Berkurang
Menurutnya, kenaikan harga BBM, listrik, dan gas akan berdampak secara makro ekonomi karena komoditas ini paling banyak digunakan oleh sektor industri, transportasi dan kelistrikan. Ketiganya berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. “Kalau ada shock di sana, akan ada ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” kata Komaidi. Ia menambahkan biaya ekonomi bisa naik, sehingga kontraksi ekonomi lebih besar. Jika kontraksi terjadi, maka penerimaan pajak akan ikut terdampak. “Penerimaan pajak akan berkurang,” katanya. Cukup masuk akal, karena semakin banyak kendaraan yang rendah emisi maka pajaknya akan semakin murah.
Selain harga BBM, harga listrik juga bisa naik dengan adanya pajak karbon. Komaidi melanjutkan pembebanan harga listrik juga perlu dipertimbangkan. Ia mempertanyakan apakah konsumen atau masyarakat dan industri secara langsung yang dibebankan, atau dari subsidi. “Kalau subsidi, kantong kiri kanan, zero-zero saja. Jangan-jangan subsidi malah jauh lebih besar, maka aspek fiskal harus dikalkulasi, ini harus dikaji menyeluruh,” katanya. Bagaimana menurut kalian? sampaikan di kolom komentar ya.
Read Next: Toyota Tarik Semua Iklan Bertema Olimpiade Di Jepang