Jakarta, AutonetMagz – Eits, jangan pada terpancing dulu dengan judulnya, tapi memang itulah yang akan kami bahas di artikel kali ini. Banyak orang yang menyalahkan sumber kemacetan karena jumlah pertambahan kendaraan tiap tahun tidak sebanding dengan pertambahan ruas jalan. Benarkah demikian? Sebelum kita menelaah lebih dalam, saya ingin mengajukan dua buah pertanyaan seputar problematika di jalan raya;
1. Pernahkah kamu terjebak macet di jalan yang sangat lebar (3 jalur misalnya), ternyata setelah melewati satu titik dimana ada beberapa angkot/bis ngetem di sebelah kiri, tiba-tiba jalanan langsung lancar seperti sulap?
2. Pernahkah kamu terjebak macet di tol dimana ternyata penyebab kemacetan tersebut adalah kecelakaan beruntun dimana para korban sudah menepi di bahu jalan, tapi dampaknya masih mengular hingga beberapa kilometer ke belakang, dan setelah melewati lokasi kecelakaan tiba-tiba jalanan mendadak lancar seperti sihir?
Mungkin itulah jawaban dari penyebab 2 kemacetan diatas, yaitu menginjak rem!
Masih belum paham? Oke saya akan jelaskan lebih detail sekali lagi (jika kamu memutar video dibawah, sebenarnya kamu bisa melewatkan tulisan yang cukup panjang ini).
Gini maksudnya, kalau kamu bilang kemacetan di Jakarta diakibatkan jumlah mobil yang terlampau banyak dan jumlah jalanan yang sudah tidak cukup lagi, sebenarnya kita ngomongin jalan raya atau tempat parkir?
Gampangnya, 1 ruas jalan yang panjangnya 1 kilometer kira-kira mampu menampung 125 mobil jika kita mengambil jarak kendaraan rata-rata 8 meter, tetapi 125 mobil tersebut dalam keadaan diam atau sedang parkir.
Nah, kalau misalkan di jalan sepanjang 1 kilometer tersebut semua mobil berjalan dengan kecepatan 30 kilometer perjam, berapa banyak kendaraan yang dapat melintas? Terus kalau misalkan kecepatannya ditambah menjadi 60 kilometer perjam atau dua kalinya, berapa mobil tuh yang bisa lewat di jalan itu?
Tentunya banyak kan? Sekarang coba bayangkan ada jalan 3 lajur yang dilewati oleh kendaraan dengan kecepatan 60 kilometer perjam, maka ratusan mobil bisa melewati jalan tersebut dalam hitungan menit. Jadi bisa dibilang, semakin tinggi kecepatan rata-rata kendaraan, berbanding lurus dengan tingkat kelancaran jalan raya.
Nah sekarang coba kalau pengendara di 3 jalur tersebut telalu sering menginjak rem atau menurunkan kecepatan, mungkin karena ada angkot ngetem di sebelah kiri, atau pengemudi pelan di jalur kanan, ataupun hal-hal kecil lainnya. Tentunya kecepatan rata-rata pasti akan berkurang atau para pengendara yang terhenti di sebelah kiri akan mengantri satu-persatu untuk pindah ke jalur lain agar tidak terhalang oleh objek yang memperlambat kecepatan.
Lebih logis lagi bisa kita lihat pada aplikasi traffic report bernama Waze yang mendeteksi kemacetan berdasarkan kecepatan kendaraan. Terutama jika kita melihat warna merah di suatu jalur, maka jalur tersebut sudah dipastikan macet total karena berjalan dengan kecepatan rata-rata kurang dari 10 kilometer perjam.
Menurut Peter Yan selaku konseptor Transjakarta dan Ahli Transportasi asal NTT, lulusan S2 teknik Sipil di Jerman yang ada dalam video menjelaskan fenomena ini sebagai berikut;
“Ada statement bahwa kemacetan di Jakarta akibat pertumbuhan kendaraan sebanyak 11% tidak sesuai (sebanding) dengan pertumbuhan ruas jalan yang sekitar 1%,” katanya. “Saya berpendapat pernyataan itu kurang tepat. Karena pada prinsipnya jalan itu dirancang dengan (untuk) kecepatan tertentu, 30 atau 40 km/jam misalnya untuk jalan dalam kota.
Sehingga dengan kecepatan tertentu itu jalan tersebut menampung kapasitas/jumlah kendaraan. Kapasitas itu akan berakhir jika kecepatan itu mulai menurun drastis. Pertanyaannya kecepatannya menurun karena apa?”
Nah, untuk menjawab hal tersebut, Peter Yan yang berprofesi sebagai supir taksi Eagle (masih dibawah Express Group) bisa melihat problematika ruwetnya lalu lintas di Jakarta. Padahal ia merupakan insinyur di bidang Teknik Sipil dengan spesialisasi Transportasi dan Air, ia juga tercatat sebagai Dosen aktif program S2 Plantologi di Universitas Tarumanegara.
Dan dari studi tersebut, salah satu kesimpulan dari penyebab kemacetan utama di Jakarta bukanlah semata-mata karena volume kendaraan, tetapi karena pengendara mobil di Jakarta yang terlalu sering menginjak Rem!
Penasaran seperti apa lengkapnya? Ikut video serial Jakarta Tanpa Macet yang dibuat oleh Iwan Hikmawan (@Sketsagram) dan Peter Yan, salah satu anggota Tim Studi Transportasi Jakarta 1991 yang mengusulkan busway.
Kunjungi laman Facebook Jakarta Tanpa Macet untuk informasi lebih lanjut.
Read Next: Shell Advance Baru Kini Menjadi Pelumas Motor Canggih Berbahan Gas Alam