AutonetMagz.com – Dunia otomotif jaman now memang diramaikan dengan persaingan yang ketat antar negara yang punya basis produksi besar. Negara – negara asal Eropa dan Amerika kini harus lebih awas lagi dengan beberapa pesaing dari Asia. Bukan hanya Jepang, melainkan India dan juga China. Bahkan, persaingan ini bukan sekedar dalam hal penjualan dan produksi mobil saja, melainkan juga riset dan pengembangan untuk teknologi mobil masa depan, dimana di dalamnya termasuk mobil bertenaga listrik.
Nah, ada sebuah kabar menarik yang baru – baru ini muncul, dan membahas perkara persaingan antara pabrikan – pabrikan asal Eropa dengan China terkait mobil listrik. Persaingan ini, sekali lagi, bukan perkara jumlah penjualan semata, melainkan riset dan pengembangan serta realisasi yang dilakukan pada mobil listrik. Seperti yang kita tahu, China memang memiliki effort yang luar biasa untuk segmen ini, dan menempatkan negara tirai bambu ini sebagai leader dalam hal mobil listrik sejauh ini. Mengutip dari CNN, Analis memprediksikan bahwa China masih akan menjadi leader untuk urusan mobil listrik dalam beberapa tahun kedepan, dan saat ini, pabrikan otomotif asal Eropa nampaknya akan kesulitan untuk mengejar ketertinggalan start mereka dengan China untuk urusan mobil listrik ini.
Simone Tagliapietra, Analis Energi dari Fondazione Eni Enrico Mattei menyebutkan bahwa pabrikan – pabrikan asal Eropa berpotensi untuk memindahkan basis produksi mobil listrik mereka ke China secara masif di masa depan. Dan beliau menambahkan bahwa langkah semacam ini memiliki resiko yang cukup besar, untuk ekonomi Eropa tentunya. China sendiri memang menjadi pasar EV terbesar di dunia saat ini, dengan separuh penjualan global mobil listrik ada di sana, kami pernah membahasnya beberapa waktu lalu. Selain itu, dua per tiga dari kapasitas total produsen baterai lithium ion di dunia pun ada di negara tersebut. Nah, dua hal inilah yang mendasari mengapa banyak pabrikan China maupun asing yang ingin membuat mobil listrik di China, pasarnya ada, bahan bakunya ada, jadi tarifnya murah. No wonder, China menjadi market leader.
Tagliapietra menambahkan, “Sangat masuk akal jikalau produsen ramai – ramai memproduksi kendaran listrik di tempat dimana baterai juga diproduksi,“. Lalu bagaimana dengan Eropa? Yang sudah mendeklarasikan diri untuk meninggalkan diesel dan menjadi pengguna mobil bertenaga listrik? Gavin Montgomery, research director of global metals markets dari Wood Mackenzie London menyebutkan bahwa Eropa hanya memiliki 1% dari total produksi baterai Lithium Ion global, sehingga walaupun ada fasilitasnya, nyatanya tak membawa dampak yang signifikan. Namun, walaupun begitu, pihak Eropa pun bukannya tanpa rencana. Lithium Werks, pabrikan baterai asal Belanda, sudah menginvestasikan dana 1,8 Milyar US Dollar untuk membangun pabrik ketiga mereka di China, dengan partner lokal.
Kees Koolen, Petinggi dari Lithium Werks, menyebutkan, “Perusahaan melakukan investasi di China karena disana bisa dibangun infrastruktur yang lebih baik, dan lebih mudah pula untuk mendapatkan ijin mendirikan pabrik, sedangkan di Eropa sendiri lebih merepotkan, dan ada banyak prosedur yang harus dipenuhi. Kondisi ini akan menghabiskan banyak waktu,”. Nah, kondisi ini sendiri sebenarnya sudah diperhatikan oleh European Commission, dengan memberikan investasi dan dana tambahan untuk mendukung produsen baterai di Eropa. Namun isu lain pun menghampiri, yaitu kenyataan bahwa China sudah mengunci pasokan bahan baku baterai lithium ion seperti lithium dan kobalt. Oleh karenanya, Viktor Irle, co-founder dari EV-Volumes menyebutkan bahwa saat ini sudah terlalu terlambat untuk Eropa.
Jadi, kalau menurut kalian bagaimana? Apakah nantinya China akan menjadi raksasa mobil listrik dan membuat negara lain seperti beberapa negara Eropa hanya menjadi konsumen saja? Atau Eropa bisa memutar otak dan melakukan yang lebih gila? Yuk sampaikan pendapat kalian.
Read Next: Lebih Dekat Ke Pelanggan, All New Rush Hadir Di Pusat Perbelanjaan